![]() |
| Ilustrasi. Pemeriksaan kesehatan gigi. (Dok. Ist) |
PAKARINFO.CO.ID — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap temuan mengejutkan dari Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) di sekolah. Dari hasil pemeriksaan, sebanyak 52,67 persen atau sekitar 180.771 anak teridentifikasi mengalami karies atau gigi berlubang. Bahkan, sekitar 43 ribu anak diketahui memiliki tiga atau lebih gigi berlubang.
“Kalau kita bandingkan dengan penyakit lain, karies itu selalu menjadi nomor 3 atau menjadi nomor 2 dari pada penyakit gigi yang kita temukan,” ujar Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, Kamis (11/9/2025).
Tingginya angka karies pada orang dewasa
Temuan kasus karies gigi tak hanya terjadi pada anak-anak. Nadia juga menyoroti kondisi orang dewasa, di mana 45,75 persen peserta CKG berusia 18 tahun ke atas terdeteksi mengalami karies. Selain itu, ditemukan pula masalah lain seperti gigi hilang, gigi goyang, hingga penyakit periodontal.
Total peserta Program CKG per 2 September 2025 tercatat mencapai 24,3 juta orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 9,8 juta peserta dewasa menjalani skrining mulut dan gigi dari total 17 juta peserta dewasa yang terdaftar.
Data Riskesdas perlihatkan kondisi mengkhawatirkan
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2023, prevalensi karies di Indonesia mencapai 82,8 persen, yang dikategorikan tinggi berdasarkan klasifikasi WHO. Sekitar 150 juta penduduk Indonesia memiliki masalah gigi dan mulut, tetapi hanya 11,2 persen yang mengakses layanan medis untuk perawatan.
Nadia menilai tantangan besar masih dihadapi dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut masyarakat. Faktor penyebabnya meliputi tingginya konsumsi makanan serta minuman berpemanis, kurangnya edukasi tentang perawatan gigi yang benar, hingga keterbatasan tenaga medis seperti dokter gigi dan terapis gigi.
“Hanya 73 persen puskesmas yang memiliki dokter gigi dan terapis,” jelasnya.
Peran kolaborasi lintas profesi
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) Usman Sumantri menekankan pentingnya kolaborasi lintas profesi tenaga kesehatan.
“Tidak mungkin satu dokter melayani berbagai posyandu, sehingga perlu ada transfer pengetahuan ke bidan, perawat, tenaga kesehatan lingkungan, dan tenaga gizi, terutama untuk menguatkan upaya promotif dan preventif,” kata Usman.
Ia menambahkan bahwa upaya menjaga kesehatan gigi tidak bisa hanya dilakukan oleh dokter gigi. Dampak sakit gigi bisa langsung menurunkan kualitas hidup, produktivitas, bahkan memicu penyakit serius lain, seperti gangguan jantung dan ginjal.


